Di tengah derasnya arus informasi di era digital, kita dihadapkan pada sebuah paradoks yang mengkhawatirkan: informasi palsu atau hoaks justru lebih cepat menyebar daripada fakta yang benar.
Fenomena ini bukan sekadar masalah teknologi, melainkan refleksi dari sebuah kesenjangan yang kian nyata, digital literacy gap atau kesenjangan literasi digital. Dampak lain dari digital literacy gap adalah Doomscrolling pada kesehatan mental.
Banyak orang memiliki akses ke internet, tetapi tidak semua memiliki kemampuan untuk memilah informasi secara kritis.
Ketimpangan inilah yang menjadi akar dari penyebaran hoaks secara masif, terutama di platform media sosial yang kini menjadi sumber utama informasi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Apa Itu Digital Literacy Gap?
Digital literacy gap adalah kesenjangan antara mereka yang memiliki kemampuan memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi digital secara bijak dengan mereka yang belum memiliki kemampuan tersebut.
Literasi digital bukan hanya soal bisa menggunakan perangkat atau aplikasi, tetapi lebih kepada kemampuan berpikir kritis terhadap konten digital.
Dalam konteks ini, mereka yang tidak memiliki literasi digital yang memadai cenderung lebih mudah percaya dan menyebarkan informasi tanpa verifikasi. Apalagi banyak konten viral di media sosial yang tidak mendidik.
Inilah yang menjadi celah utama bagi hoaks untuk menyebar lebih cepat dan luas dibandingkan fakta.
Mengapa Hoax Menyebar Lebih Cepat?
Terdapat beberapa alasan utama mengapa informasi palsu menyebar lebih cepat daripada fakta:
1. Emosi vs Logika
Hoaks biasanya dirancang untuk memicu emosi kuat seperti ketakutan, kemarahan, atau harapan palsu. Konten yang membangkitkan emosi lebih mudah dibagikan dibandingkan fakta yang biasanya bersifat netral dan membutuhkan pemikiran logis.
2. Algoritma Media Sosial
Platform seperti Facebook, Instagram, dan X (Twitter) mengutamakan konten yang mendapat banyak interaksi. Hoaks yang provokatif dan emosional seringkali lebih banyak dikomentari dan dibagikan, sehingga algoritma justru “mengangkat” informasi ini ke lebih banyak pengguna.
3. Kurangnya Verifikasi Pribadi
Banyak pengguna media sosial langsung memberikan informasi tanpa membaca secara utuh atau memeriksa sumbernya. Ini diperparah dengan kebiasaan “asal share” karena keinginan tampil cepat sebagai pihak yang “tahu duluan”.
4. Rendahnya Kepercayaan pada Institusi Resmi
Sebagian masyarakat lebih percaya pada narasi dari grup WhatsApp atau influencer dibandingkan lembaga resmi. Saat fakta dibagikan oleh otoritas, justru sering dianggap “dibuat-buat” atau punya agenda tertentu.
Dampak dari Penyebaran Hoaks
Penyebaran informasi palsu bisa berdampak serius pada berbagai sektor:
- Kesehatan: Misalnya, hoaks soal vaksinasi yang menyebabkan banyak orang enggan divaksin.
- Politik: Hoaks dapat mempengaruhi opini publik dan memperkeruh suasana menjelang pemilu.
- Ekonomi: Isu palsu mengenai kondisi keuangan atau bahan pokok dapat memicu panic buying.
- Sosial: Hoaks yang berbau SARA bisa menimbulkan konflik antar kelompok.
Kita hidup di zaman di mana kecepatan informasi melebihi kemampuan berpikir kritis sebagian masyarakat. Tanpa literasi digital yang memadai, risiko kerusakan sosial akibat hoaks akan terus membesar.
Tantangan Literasi Digital di Indonesia
Menurut berbagai survei, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam literasi digital. Meskipun penetrasi internet tinggi, namun tingkat literasi digital belum merata. Hal ini dipengaruhi oleh:
- Perbedaan tingkat pendidikan.
- Kurangnya edukasi digital di sekolah dan keluarga.
- Minimnya akses informasi terpercaya di daerah terpencil.
- Ketergantungan pada media sosial sebagai satu-satunya sumber informasi.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Menghadapi tantangan ini, berbagai pihak perlu mengambil peran aktif untuk menjembatani kesenjangan literasi digital:
1. Pendidikan Literasi Digital Sejak Dini
Sekolah-sekolah harus mengintegrasikan kurikulum literasi digital, termasuk bagaimana cara mengenali hoaks, memverifikasi sumber, dan berpikir kritis terhadap informasi online.
2. Kampanye Publik yang Konsisten
Pemerintah dan organisasi non-profit dapat mengadakan kampanye anti-hoaks yang kreatif dan mudah dipahami, khususnya di media sosial dan kanal yang dekat dengan masyarakat.
3. Peran Keluarga dan Komunitas
Keluarga dan komunitas memiliki peran penting sebagai filter pertama dalam menyaring informasi. Orang tua perlu menjadi teladan dalam menggunakan internet secara bijak dan tidak mudah menyebarkan informasi yang belum terverifikasi.
4. Kolaborasi dengan Platform Digital
Pemerintah dan masyarakat sipil dapat bekerja sama dengan platform seperti Meta, TikTok, dan Google untuk memprioritaskan penyebaran informasi yang faktual dan menekan sebaran konten menyesatkan.
5. Dorongan untuk Verifikasi Mandiri
Masyarakat harus diajarkan cara memverifikasi informasi, misalnya melalui situs-situs seperti TurnBackHoax, CekFakta, atau Google Fact Check Tools.
Literasi Digital Adalah Tanggung Jawab Bersama
Kesenjangan literasi digital bukan hanya isu teknologi, melainkan isu sosial yang memengaruhi kualitas demokrasi, kesehatan publik, dan keamanan sosial.
Ketika hoaks menyebar lebih cepat dari fakta, yang kita butuhkan bukan sekadar koneksi internet yang lebih cepat, tetapi kemampuan berpikir kritis yang lebih tajam.
Baca Juga : Algoritma TikTok vs Reels: Siapa Pemenang Engagement di 2025?
Kini saatnya kita berhenti menjadi penyebar kabar yang belum tentu benar, dan mulai berperan sebagai penyaring informasi yang bertanggung jawab.
Literasi digital bukan pilihan, melainkan kebutuhan dasar di era informasi ini.